Perpustakaan Universitas Untirta mendukung lahirnya metode MPR
TRIBUNNEWS.COM-Sesuai ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, lahirnya fungsi, tanggung jawab, status, dan kewenangan MPR undang-undang yang sama sekali berbeda dengan MPR, DPD, dan DPRD terus didukung. Salah satunya hadir dalam acara Pustaka Akademika yang digelar Rabu (2/9) di aula Gedung B Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Sertan Banten. Perpustakaan Universitas Ontilta membahas judul “Konstitusionalitas Musyawarah Rakyat Republik Indonesia (MPR) untuk merumuskan Undang-Undang Kelembagaan sebagai wujud perwujudan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam kesempatan tersebut, Kepala Humas MPR Siti Fauziah, Wakil Presiden III Sukhna SP Untirta dan Dekan Fakultas Hukum Untirta Agus Prihartono, serta para guru besar dan mahasiswa Untirta Serang Banten.
Selain menganalisis makalah, dalam kegiatan perpustakaan universitas, Perpustakaan MPR dan Untirta juga menandatangani kesepakatan. Penandatanganan nota kesepahaman diwakili oleh Dekan Humas MPR Karo Siti Fauziah dan FH Untirta Agus Prihartono.
Dalam sambutannya, Restu Gusti Monitasari SH selaku penulis makalah mengatakan bahwa fungsi dan tanggung jawab MPR terkesan membingungkan karena diatur dalam satu undang-undang yang sama dengan DPR, DPD dan DPRD. Semua yang terjadi antara MPR dengan ketiga lembaga lainnya seolah-olah memiliki fungsi, tanggung jawab dan peran yang sama. Padahal, MPR dan DPR, DPD dan DPRD sangat berbeda.
“Seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, BPK dan Komisi Yudisial, MPR juga harus membuat undang-undang tersendiri yang terpisah dari DPR, DPD, dan DPRD. Ini” kata Restu Gusti, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 2 Menurut Pasal (1), penataan antara MPR dengan lembaga lain, khususnya DPRD menurut Restu, sangat kocar-kacir, karena Partai Demokrat Rakyat bukanlah badan legislatif yang memiliki kekuatan legislatif seperti Republik Demokratik Rakyat; Partai Demokrat merupakan bagian dari pemerintah daerah yang salah satunya akan menyusun peraturan daerah. Seharusnya UU MDRD tidak mengatur DPRD, karena pembentukan UU DPRD-MPR merupakan lembaga yang sulit memisahkan konstitusi dari negara bagian lain dalam undang-undang kewenangan pemerintah daerah, karena MPR berbeda dengan lembaga negara lainnya. Lebih banyak uang sewa dan kekuasaan. Ditambahkan Restu.
Lia Riesta Dewi, SH, MH, Narsum, dan revisionis perpustakaan perguruan tinggi juga mengeluarkan pernyataan serupa. Menurut Lia, sesuai Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan amanat Pasal 2 ayat 1, MPR diatur dengan undang-undang lain yang berbeda dengan lembaga lain, sekalipun MPR ditegakkan, undang-undang yang sama dengan DPR dan DPD tetap dapat digunakan untuk mengurus MPR bukan DPRD. DPR dan Derajat DPD lebih tinggi dari DPRD.

“Seharusnya MPR diatur dalam undang-undang tersendiri, agar tidak terjadi kerancuan. Setidaknya undang-undang tidak mengatur DPRD. Karena fungsi DPR dan DPRD berbeda. Bagian legislatif dan sebagian pemerintah daerah, “imbuh Lia Riesta. -Karena berbagai alasan tersebut, menurut Lia, menurut UUD NRI 1945, Perpres MPR yang dibuat dengan undang-undang yang berbeda dengan lembaga nasional lainnya adalah Sebuah tugas konstitusional.
Di awal acara pembukaan, Siti Fauziah, Ketua Humas MPR, dalam sambutannya mengatakan bahwa MPR bersedia bekerjasama dengan semua pihak termasuk perguruan tinggi, swasta dan sektor publik. Fungsi MPR terkait dengan fungsi. Selain itu, apakah kegiatan tersebut bermanfaat bagi orasi mahasiswa .— “Dalam kondisi seperti saat ini, MPR membatasi kegiatannya guna mencegah penyebaran Covid 19. Siti Fauziah menambahkan, sebagaimana di Untirta, pelaksanaannya harus memperhatikan kesepakatan sanitasi.